Sampang (ANGKAT BERITA) – Di tengah hiruk-pikuk harapan akan penegakan hukum yang adil, Polres Sampang kembali menjadi sorotan, bukan karena keberhasilan mereka, tetapi karena dugaan permainan “tangan di bawah meja” yang melibatkan institusi tersebut.
Alih-alih menegakkan hukum secara transparan, sejumlah kasus menunjukkan indikasi kuat adanya praktik tidak sehat yang justru mencederai kepercayaan masyarakat.
Kasus yang Menggantung di Meja Polres
Sebut saja kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben. Laporan resmi yang diajukan sejak 26 Oktober 2024 dengan nomor LP/B/213/X/2024/SPKT/POLRES SAMPANG/POLDA JAWA TIMUR hingga kini belum membuahkan hasil. Pelaku masih bebas, sementara korban dan keluarganya terjebak dalam lingkaran penderitaan tanpa ujung.
Namun, ini bukan kali pertama penanganan kasus di Polres Sampang mendapat sorotan tajam. Beberapa laporan masyarakat menunjukkan pola yang mencurigakan—kasus ditangani lambat, bukti terasa diabaikan, dan seringkali penyelesaian hanya terjadi setelah ada tekanan dari pihak luar.
Sejumlah pengamat menduga, ada praktik “permainan tangan” yang bersembunyi di balik lambatnya proses hukum. Mungkinkah ada kepentingan tertentu yang melindungi pelaku? Ataukah, ada “komunikasi khusus” di balik meja yang mengatur arah kasus ini?
Salah satu korban ketidakadilan, Mila, ibu dari anak yang menjadi korban pelecehan seksual, merasa seperti berbicara kepada tembok.
“Kenapa kasus ini begitu sulit ditangani? Bukankah sudah jelas ada bukti dan laporan? Tapi, sampai sekarang pelaku masih berkeliaran. Saya hanya seorang ibu, saya tidak punya uang atau pengaruh, jadi apakah itu yang membuat kami diabaikan?” tanya Mila dengan lirih.
Keluhan Mila menyuarakan keprihatinan lebih besar tentang siapa sebenarnya yang mendapatkan perlindungan hukum di Sampang.
Ketua L KPK Mawil Sampang H. Suja’i, tidak segan melontarkan kritik tajam terhadap Polres Sampang.
“Ketika hukum dipermainkan, kita semua kalah. Korban tidak mendapatkan keadilan, pelaku tidak mendapatkan hukuman, dan institusi penegak hukum kehilangan kehormatannya. Jika permainan ini benar terjadi, ini bukan hanya tentang kasus tertentu, ini tentang kehancuran sistem hukum di Sampang,” ujarnya tegas.
Ia juga menambahkan bahwa keberadaan indikasi permainan di bawah meja hanya akan membuat masyarakat semakin hilang kepercayaan terhadap aparat penegak hukum.
“Jika Polres Sampang tidak segera berbenah, masyarakat akan menganggap bahwa hukum di sini hanya berpihak kepada yang punya kuasa dan uang,” pungkasnya.
Ketika dimintai komentar, Polres Sampang lagi-lagi memberikan jawaban klasik: “Penyelidikan masih berlangsung.” Sayangnya, tanpa transparansi dan langkah konkret, respons ini justru memperkuat dugaan bahwa ada kepentingan yang sedang dilindungi.
Aparat seharusnya menjadi pelindung, bukan pihak yang menambah derita korban. Ketika hukum hanya menjadi permainan tangan yang tersembunyi di bawah meja, maka pesan yang sampai ke masyarakat jelas: keadilan bukanlah hak, melainkan produk eksklusif yang hanya bisa dibeli oleh mereka yang mampu.
Polres Sampang kini berada di persimpangan jalan. Mereka bisa memilih untuk membuktikan integritasnya dengan bertindak tegas dan transparan, atau terus membiarkan citra institusinya memburuk di mata publik.
Masyarakat tidak meminta keajaiban, mereka hanya meminta hukum berjalan sebagaimana mestinya. Namun jika hal ini terus diabaikan, maka tidak heran bila suara-suara sumbang tentang “permainan tangan” di balik meja akan semakin lantang terdengar.
Sampang butuh keadilan, bukan drama. Apakah Polres Sampang akan menjawab tantangan ini, atau membiarkan dirinya terjebak dalam permainan yang justru menghancurkan kredibilitasnya sendiri? Hanya waktu yang bisa menjawab.

 
											 
									 
									 
									 
									 
									 
									 
									