Mojokerto, angkatberita.id – Kepala desa sejatinya memiliki tugas utama menyelenggarakan pemerintahan desa, menjaga ketertiban, hingga menyelesaikan konflik antarwarga. Namun peran itu dirasa absen oleh puluhan petani Desa Sumber Girang, Kecamatan Puri, Kabupaten Mojokerto, yang tengah berjuang menuntut sisa pembayaran tanahnya.

Masalah bermula dari pembebasan lahan pertanian di dua desa, yakni Tumapel dan Sumber Girang, pada akhir 2019. Dari total 37 petak tanah dengan luas sekitar 7,5 hektare, pembebasan lahan ini ditangani sekelompok perangkat desa yang mengaku sebagai panitia. Panitia itu diketuai Soponyono (Sekdes Sumber Girang), dengan anggota sejumlah kepala dusun serta dua warga Desa Tumapel.

Para petani awalnya percaya penuh karena yang menjadi panitia justru perangkat desa mereka sendiri. Keyakinan itu semakin kuat setelah ada perjanjian pembayaran tanah senilai Rp600 juta yang diduga turut disahkan oleh Kepala Desa Sumber Girang, Siswayudi, pada 10 Februari 2020.

Tak hanya itu, nama Siswayudi juga tercatat sebagai saksi dalam akta jual beli (AJB) pada 17 Februari 2020 bersama sejumlah panitia. Hal ini membuat petani meyakini proses transaksi sah dan aman.

“Tidak mungkin tega pimpinan dan pejabat desa membohongi masyarakatnya,” kata salah satu petani mengingat kembali rasa percaya mereka kala itu.

Namun, kenyataan berbicara lain. Hingga kini, sisa pembayaran tanah belum tuntas. Para petani merasa Kepala Desa tidak hadir membela mereka, padahal tanda tangan dan pengesahan Kades justru ada di dokumen penting transaksi itu.

Ketika dikonfirmasi, Kades Siswayudi justru berulang kali menyatakan tidak mengetahui proses awal pembebasan lahan.

“Tahu-tahu sudah terjadi konflik antara panitia dengan petani,” ujarnya singkat.

Pernyataan itu semakin menambah kekecewaan petani yang kini harus berjuang sendiri menuntut hak mereka.

“Kami berharap ada pihak berwenang yang mau turun tangan membantu. Terima kasih juga untuk media yang sudah peduli menyuarakan keluhan kami,” ucap salah satu petani.